Satu kejadian terulang lagi, yang tak penah habis-habisnya
jadi pokok pembicaraan seluruh daerah ketika saya, kamu, dan kalian berada di
daerah luar dari tempat kita perpijak saat ini.
Sebuah kejadian yang berulang, hampir tiap tahunnya. Entah
apa yang jadi pemicu ledakan, entah percikan api darimana pula.
Sebelumnya telah beredar berita, tentang apa yang akan
terjadi, tentang penghancuran yang terencana, sebuah kabar angin. Dan
ternyata ada pembuktian dari apa yang terdengar. Dan sore yang tenang, dihebohkan dengan kekacauan terencana.
Panik, jelas sungguh dari pihak yang tak tahu menahu tentang pemicu kehebohan. Hanya bisa diam, melihat keganasan dari emosi yang meledak, dari
dendam yang ingin terbalaskan.
Kali ini hujan bukan berasal dari lagit penuh awan jenuh uap air, bukan berua jatuhan
air yang membasahi tanah kampus merah, bukan. Kali ini hujan berasal dari
tangan manusia yang pikirnya diselimuti merahnya dendam dan amarah, kali ini
jatuhan berasal dari benda keras buatan tangan manusia maupun hasil transportasi
jauh/hancuran material bentukan alam (batu).
Tak terkendali, sungguh frontal.
Yang anehnya, penghenti kehebohan ini adalah air yang jatuh
benar-benar dari langit.
Maaf jika harus berkata demikian, ini kenyataan yang
terlihat dilapangan.
Dari desas desus yang terdengar diantara ramainya kicauan
batu yang menghambur di atap bagunan. Masalah yang menjadi pemicu merupakan
masalah yang kerap kali terjadi hampir ditiap tahunnya.
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya hal yang dijadikan pemicu
ini bisa dibuat jadi sederhana, tidak harus banyak korban, tidak harus banyak
kerusakan, tidak harus menggorbankan nama baik yang notabene selama ini sudah
jadi perbincangan yang hangat di masyarakat. Boleh dikatakan, perbincangan
prestasi dari segi otak bisa diberi acungan jempol. Tetapi, ada ‘tetapi’.
Perbincangan tentang prestasi emosi juga luarbiasa hebohnya. Sangat malah.
Pertanyaan yang timbul kemudian, "Yang pada heboh itu para kaum
intelektual kan?bukan preman kan?"
Tak bisakah masalah yang ada dipilah-pilah terlebih dahulu,
tak bisakah informasi yang didapat difilter terlebih dahulu, sebelum kemudian
dilakukan reaksi atas masalah ataupun informasi itu.
Jangan karena Ego yang tinggi, kesombogan atas keagungan
nama, terus kemudian menggunakannya secara anarki.
Hei hei, ini Indonesia kan? Yang katanya, dikenal dunia
dengan ramah tamahnya.
Gimana mau dipandang ramah tamah, jika orang-orang
didalamnya saling menjatuhkan satu sama lain. Saling menghancurkan satu sama
lain.
Sebuah ungkapan lama “karena nila setitik, rusak susu sebelanga”
Jangan karena sebagian orang yang mungkin punya kepentingan
pribadi, lantas merusak nama besar yang dengan susah payah diperjuangkan.
'Damai itu indah'
0 komentar:
Posting Komentar